Baru
sebulan lalu naik gunung, tapi rasanya udah sakaw. Mendaki
emang jadi candu. Dari belanja logistic, packingnya aja udah bikin kangen,
apalagi perjalanan malem-malem dalam cengekraman hutan rimba dengan hawa dingin
dan angin semilir yang membelai mesra. Bukan puncak yang bikin kangen, tapi
perjalanannya itu lho.hehehe
Tanggal itu teman-teman kelas mengajak ke
Dieng, tepatnya mau naik Gunung Prau. Yang ngajakin aku sih temen-temen
cowok yang sudah cukup pengalaman naik
gunung. Aku belum yakin, soalnya temen yang cewek belum pasti ada yang ikut
atau enggak. Eh lain hari cewek-ceweknya nggak mau ikut. Aku udah kagol,
pokoknya harus ada temen yang cewek.hehe
Dan akhirnya temen-temen cewek jadi ikut. Aku
kembali riang.ahahaha
Mereka semua berkumpul dulu di rumahku, ya
daripada aku harus ikut kumpul di kampus, kan jauh. Lagian rumahku juga searah
kalo mau ke Wonosobo (rumahku di Godean, kampus di UNY).
Semua bersepuluh dengan cowok 4 orang menjadi
sebuah kesebelasan kalau ditambah aku. Kata temen-temen rumahku cukup jauh,
mereka membutuhkan waktu 45 menit dari kampus ke rumahku di pucuk barat Godean.
Sebelum berangkat kami ngisi perut dulu, ibu
sudah nyiapin gulai enthog :D . eh sama ibu suruh bawa nasi sama sisa gulainya,
nasinya pake wadah berupa besek dan gulainya diplastik. Beneran kayak kenduri
:3
Berbekal ijin orang tua beberapa hari lalu,
carrier dan alat lain yang Cuma minjem abang dan logistic secukupnya jam 13.30
kami bertolak dari Jogja, tepatnya dari rumahku menuju Wonosobo. Aku dibonceng
Uun pake motorku eh pacarku yang sudah kuservis dang anti oli kemarin. Termasuk
nekat ya, lha wong Uun nggak punya SIM. Tapi aku yakin-yakin aja.
Tenan dab, dibonceng Uun marai aku
cedhak marang Gusti.
Dari rumah, Magelang, Temanggung, Wonosobo Uun medeni tenan le numpak motor.
Tapi lincahnyaaaa…. Aku makin cintaa :* #ehhh
Udah beberapa jam pas sampe Temanggung, kami
mengandalkan GPS di HPnya Langgeng. Asem sekali lah, GPS e sondong tenan. Mosok
dari tadi waktu tempuhnya satu jam mulu. Kami malah mblusuk lewat jalan ladang-ladang
penduduk, hutan pinus, tanpa listrik, aspalnya rusak kayak sungai kering. Tapi
Alhamdulillah ada bantuan cahaya bulan purnama, untung taringku enggak tumbuh dan si warewolf
nggak keluar. Ditambah lagi dengan
pantat yang terasa panas karena duduk berjam-jam di motor, punggung juga
dipeluk erat carrier yang membuatku seperti kura-kura.
lagi perjalanan sampai Temanggung, tanya jalan |
carrier 80lt yang membuatku kayak kura-kura :D |
Hawa dingin mulai meresap ke tubuh,
teman-teman pilih berhenti dan pake jaket, aku milih tetep Cuma pake kaos
(tentunya pakaian lengkap lho ya),
pura-puranya aklimatisasi gitu.hahaha
Di antara ladang-ladang penduduk dengan jalan
yang penuh batuan kayak sungai kering itu, motor kami mulai manja. Yang
dibelakang harus turun soalnya nggak berani numpang. Motor temanku malah ada
yang nggak kuat, belum ganti oli katanya, sampe ada bau-bau gosong gitu (motor
siapa hayo? Motornya ali) haha
Pas sudah keliata rumah penduduk, leganya
bukan main :D kayak nemu setetes embun di padang pasir gitu. Ada masjid, kami
berhenti sholat maghrib, ada yang benerin motornya soalnya kebetulan ada
bengkel, lampu utama di motor ika hidup dan mati, sekarat.
Oh ternyata, kami njebol agrowisata Tambi.
Pernah denger teh tambi pas aku nginep rumah Fita di Kejajar, Wonosobo.
Leganyaa pas liat penunjuk jalan ada arah “DIENG”.
Nggak sampai satu jam kami udah sampai di pos
pendakian gunung prau. Motor kami parkir di tempat parkir pinggir jalan raya,
dekat masjid. Tarifnya 4000 per motor plus titipan helm 1000 per helm (lupa
namanya pos parkir apaan). Terus kami harus jalan kaki sekitar 300 meter menuju
basecamp. Hawa dingin benar-benar menusuk, pas wudhu sama sholat isya aja
rahangnya gemelatukan.
Setelah sholat isya perut kami mulai minta
makan. Ya sudah, nasi besekan dari ibu kita makan bareng-bareng di basecamp.
Bisa dibayangkan? Nasi satu besek dimakan bareng-bareng bersebelas dengan
dibagi-bagi pake piring, berasa menjadi satu keluarga besar yang lagi mbuka
kenduri :D .
Jam 8 kami siap-siap untuk naik, jam setengah
9 kami mulai meninggalkan basecamp. Track pertama adalah berjalan kaki melewati
rumah – rumah penduduk, enggak ada 500 meter. Terus ada tangga semen menuju
ladang-ladang penduduk. Duh, sebenernya naik tangga kayak gini bener-bener
malah bikin capek, lututnya kayak mau copot, tapi tenang ini enggak terlalu
tinggi pemirsa.
Peta pendakian Gunung Prau | source: InfoPendaki.com |
Setelah naik beberapa anak tangga, sampailah
kami di antara ladang penduduk. Kemudian melewati jalanan yang masih dari batu
tertata, bukan semen ataupun aspal. Menanjak. Kami istirahat untuk ambil nafas.
Beberapa teman kami ada yang bilang “aku lemes ”, maklum baru pertama kali dia
naik gunung, mukanya juga terlihat pucat. Kuberi dia yang manis-manis berupa
cokelat dan madu, padahal cukup ngelihat aku aja udah cukup manis B). selain
itu ada yang ngambil air di dalem tasnya, mau dipindah ke botol yang lebih
kecil biar bisa disaku. Aku Cuma bisa tepuk jidat, karena packingnya temenku
bisa kubilang amburadul. Enggak dipertimbangkan mana barang prioritas yang
sering dibutuhkan dan mana yang perlu dikeluarkan waktu ngecamp -_- .
Kami melanjutkan perjalanan, bulan bersinar
terang cukup menghemat daya senter kami :D . naik lagi, memasuki jalan di
antara ladang penduduk. Pos satu belum nyampe, tapi kayaknya deket. Tracknya
jalan setapak berupa tanah berundak yang menanjak. Lampu-lampu di bawah
berkelap-kelip, romantis, ditambah lagi cuaca yang cerah banget dihiasi bulan
purnama, ndilalah.
Sudah sampai pos 1 yang terletak di antara
ladang penduduk, penuh dengan pendaki yang dominan laki-laki.
Lanjut terus, memasuki hutan yang dominan
dengan pohon pinus. Ketika kami istirahat untuk ambil nafas, bau pesing nyampe
ke hidung. Sambil ngobrol ngalor ngidul apapun, terlebih Hendra yang tergolong
cowok cerewet. Aku juga iya. Hahaha kata Nastiti kalau ada aku bakalan kemruwek (berisik), dari rumah,
basecamp, naik pun aku enggak diem-diem. Katan Nasiti “Ningrum ki cilik-cilik
tapi cerewet tenan ya.” Haiss.
Entah aku nggak hafal itu pos berapa pos
berapa, tapi ada tiga pos. tapi beberapa hari sebelum keberangkatan aku sempat
cari referensi, kita bakalan melewati taman bunga daisy. Tapi manaa? Sampai pos
3 naik aku belum nemu.
Dari pos 3 menuju sunrise camp, tracknya
lumayan terjal, tangga tanah dengan batas bambu pada tiap anak tangganya.
Lampu-lampu dieng plateau di bawah sana terlihat kerlap-kerlip, bulan purnama
juga belum tertutup awan. Aku mulai diem, enggak secerewet tadi, “kalau ningrum
mulai diem berarti dia mulai mengantuk” kataku.
Sampai di sunrise camp. Kami mencari tempat
untuk mendirikan dua tenda. Jam menunjukkan sekitar pukul setengah dua belas
malam. Angin dingin mulai berhembus, tangank mulai kaku. Kubuka carrier dan
memakai jaket.
Ada mbak-mbak dari tenda sebelah menghampiri
kami. Berkenalan. Dia dari Jakarta. Katanya dia enggak bisa tidur. Kebelet BAB
juga. Sama Uun dikibulin, kalau kebelet BAB tahan aja pake batu atau kerikil
disakuin. Eh dia percaya saja :D.
2 tenda kami sudah berdiri, satu tenda untuk 4
cowok dan 1 tenda untuk 7 cewek. Kami bongkar-bongkar bawaan masing-masing yang
diperlukan. Kemudian masak beberapa mie rebus dan kami makan bertujuh.
Menunjukkan pukul setengah dua, aku masuk
sleeping bag dan tidur meringkuk. Pukul empat
kami bangun, sekitar setengah lima kami memburu sunrise. Kami mencari
titik yang lebih tinggi daripada sunrise camp. Tapi sayang, kabut tebal banget,
jarak pandang hanya sekitar lima meter.
Kami memutuskan untuk kembali ke tenda dan
masak air untuk bikin minum. Sambil menikmati susu cokelat panas, kemudian
senyum kami terkembang tatkala kami melihat semburat kemerahan dari arah timur.
Kami berlari keluar tenda dan memburu hawa hangat cahaya matahari. Tapi sayang,
masih terhalang bukit teletubies .
sunrise yang terhalang bukit teletubbies |
Kami juga mengambil spot di bukit bagian
belakang tenda kami. Bunga kecil berwarna pink menghiasi tanah basah berembun,
ternyata itu daisy. Sayangnya di sini banyak tisu basah bekas. Soalnya di sini
banyak semak-semak, jadi maklum jadi toilet. Tapi kok sampah tisunya itu enggak
dibawa turun sih? -_-
Kami mulai lapar.
bunga-bunga |
Kemudian kembali ke tenda
dan masak. Masak nasi, sup, tempe dan telur goreng. Tapi berasnya susah
matengnya, padahal yang bawah sudah gosong. Sudah dua kali ini aku masak nasi
di gunung dan enggak mateng. Mungkin ada pembaca yang punya saran gimana cara
masak nasi di gunung biar mateng?
Ya namanya juga laper, nasi enggak mateng pun
habis dilahap.hahaha
calon istri idaman sedang memasak :D |
Jam setengah 10 pagi kami memilih untuk
packing turun. Setelah sunrise camp, aku baru menjumpai taman bunga daisy.
Bunganya buanyaaaak banget. Bukit pun terlihat berselimut bunga-bunga. Telaga
warna juga terlihat dari atas. Karena ini pagi menjelang siang, track baru
terlihat terjal dan licin. Bagiku turun itu lebih mengerikan, takut terjungkal.
Ali menantang, kalau kita satu jam sampai base camp, nanti kita mampir ke Telaga Warna. Waktu itu baru pukul 10 pagi. Tepat satu jam kami sampai ke besecamp, dan berburu toilet, sudah rindu. Tapi cuaca malah mendung. Sambil istirahat kami menikmati hangatnya teh manis, tempe kemul, dan makan siang.
Tak lama kemudian hujan turun dengan deras.
Bersyukur kami, sudah sampai bawah. Di base camp sempat tidur
beberapa menit, tapi aku harus bangun. Kami harus pulang. Nggak jadi ke Telaga
Warna.
Jam satu kami bertolak
dari Dieng menuju Jogja. Tapi kali ini teman-teman langsung pulang ke kost
masing-masing dan ngembalikan sewaan alat outdoor. Jadi aku pulang sendiri,
enggak boncengan sama siapapun dari Magelang.
Adzan isya' aku sudah
sampai rumah. Alhamdulillah, ini adalah puncak sejati, di mana keluargaku masih
setia menungguku pulang.