Tampilkan postingan dengan label Pendakian. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendakian. Tampilkan semua postingan

Kamis, 19 Oktober 2017

Pendakian Merbabu via Wekas (9-10 September 2017)

0

Jalur wekas merupakan jalur impian yang ingin saya daki, meskipun katanya berat banget. Setelah 3x lewat jalur Selo sejak 2015 (dan hanya 1x sampe puncaknya. Hahaha), akhirnya kesampaian juga lewat jalur Wekas yang jark tempuhnya 5km, lebih pendek daripada jalur Selo, tetapi lebih terjal juga sih. Alasan kenapa ingin mencicipi jalur Wekas adalah saya penasaran dengan yang dinamakan “Jembatan Setan” dan “Geger Sapi”nya, dan kebetulan diajak geng saya lewat Wekas sih, dan kebetulan jalur Wekas termasuk dekat dari Jogja.
Tim kami ber-6 dengan cewek 2 orang, sebut saja Mas Buhan, Mas Sigit a.k.a Icik, Mas Kus, Mas Adit, Mbak Novia, dan saya sendiri. Kali ini logistik kami adalah tongseng sapi spesial                Qurban, beras, mie instan, roti serta camilan tak lupa kopinya. Berbekal persiapan fisik berupa lari keliling lapangan paling enggak limabelas menit per latihan, tapi seminggu hanya sempet 2x latihan saja, padahal targetnya 3 seminggu dengan 5 putaran lapangan bola, tapi tak apalah sing penting yakin. Selain biar kuat untuk diri saya sendiri, setidaknya nanti saya enggak drop, karena ceweknya cuma berdua dan ini adalah pendakian mbak Novia yang pertama.
Pukul 13.30 kami mengawali perjalanan dari Godean, Yogyakarta menuju Basecamp Wekas Magelang. Sekitar pukul 15.00 kami sampai di basecamp dan melakukan registrasi di loket, simaksinya sebesar Rp18.000,- per orang. Estimasi waktu kami adalah sebagai berikut:
Pukul 15.30 : naik dari basecamp
Pukul 20.00: sampai di pos 2, ngecamp
Pukul 03.00 : berangkat summit attack
Meskipun ini weekend, tapi base camp Wekas tidak terlalu ramai. Karena jalur Wekas jarng diminati seperti jalur Selo karena jalur Wekas itu kejam –tapi ngangenin, kayak kamu-.
Sekitar pukul 15.30 kami berangkat dari basecamp. Beberapa kali saya mendaki, ini adalah yang paling ringan, karena air minumnya hanya 1,5 liter dalam water blader –karena ada mata air di pos 2-. Terlebih mbak Novia, biarpun ini pendakian perdananya tapi barang pribadinya ia bawa sendiiri dalam daypack 40l, makanannya banyak membuat kami merasa mulyo.
Treknya berdebu parah. Saya merasa oke-oke aja, nggak mountain sickness atau apalah, hanya saja ini perut kok rasanya kayak kram. Mbak Novia alhamdulillah juga oke.
Waktu sampai pos bayangan 2 –Cuma bayangan, jangan ngarep lebih-, dalam anganku (?) berarti pos 2 bentar lagi. Naik sebentar terus agak landai. Udah habis isya sih waktu itu, kami break bentar. Saya di depan sendiri –padahal bukan leader, hahhaa, kebetulan aja-, sambil ngemilin coki-coki dan ngobrol sama temen-temen saya mengendus aroma wangi nan lembut mendamaikan (halah). Dengan rasa yang agak nganu saya mencoba menajamkan indra pembau ala-ala anjing pelacak, dan benar ini bau wanggiiiiiiii, tapi saya diem. Saya nggak liat yang ‘aneh-aneh’ tapi merinding, Cuma bisa komat kamit ayat kursi yang kadang masih kebalik-balik sama Qulhu aja.
“rum jangan liat belakang !” kata mas Kus padaku sambil mendekat
Belakang yang dimaksudkan adalah belakangku alias depan teman-temen karena saya menghadap ke temen-temen atau jalan berikutnya.
“engko nek ndelok mburi ki ndak ketok dalane ketok adooooh”. Kataku
(translate: nanti kalo liat belakang jadi keliatan jauh). Alibi saja, padalah sebenarnya takut,hahaha.
“lha iyo” kata mas kus
(translate: lah iya)
Wanginya hilang, capek juga hilang, sudah agak dingin karena keringat hampir hilang, kami lanjut jalan. Dan horeee jalannya landai ditambah bonus dalan susu atau milky way di atas kami, langit cerah.
Keceriaan kami bertambah ketika liat tenda di depan sana. Sampailah kami di pos 2, dengan hati riang kami mendirikan 3 buah tenda yang masing-masing kapasitas 2 orang. Yang cewek merebus air, yang cowok bangun tenda.
Jam 22an kami beranjak tidur, save energi karena besok summit attack jam 3 pagi. Sebelumnya saya sudah membayangkan bahwa nanti kami bisa tidur pulas dan cukup, paling enggak 3 jam lah minimal. Ternyata... rombongan di sebelah sana berisik banget, mata sih merem, tapi pikirannya masih melek.
Jam 2 pagi terbagun gegara kebelet pipis, dari awal mendirikan tenda sudah tak plot tempat pipisnya, biar gak jauh dari tenda, kebetulan posisi tendanya deket semak :D. Ternyata jam segitu yang laki juga udah pada bangun. Setelah pipis terakhir di rumah sebelum berangkat,dini hari ini jadi beser. Hahahah. Dan ternyata.... aku malah dapet jatah bulanan, pantesan tadi malem perutnya kram. Untung ubarampe cewek selalu ada dalam dompet P3K ku, jadi ya tetap woles. Hanya kepikiran nanti kuat enggak sampe puncak? Udah kebayang perut kram, terus pinggang kayak mau copot (biasanya sih gitu, pernah pas dapet hari pertama naik ke Nglanggeran, beuuh pinggang kayak mau copot). Tapi akhirnya sing penting yakin :D.
Setelah sarapan dengan nutrijel,  minum cukup dan packing barang-barang penting ke daypack, kami memulai perjalanan menuju puncak. Mas adit ada trouble di kaki, jadi dia mau tinggal di tenda aja, masakin kami :D
Dingin masih menggigit padahal kami sudah berjalan nanjak sudah beberapa ratus meter. Tidak berapa lama, mbak Novia muntah-muntah. Mountain sickness. Tapi katanya dia masih kuat. Jadi lanjut aja.
Setelah beberapa ratus meter.... mbak Novia muntah lagi. Tak pijit-pijit leher belakangnya. Kami paksa makan roti, biar perutnya gak keisi angin. Tapi katanya pait -Lah lebih pait kisahnya mas Sigit, yang bela-belain hujan mancing gabus tapi boncosL-
Setelah mbak Novia muntah, saya jadi ikutan mual karena liat dia muntah L, tapi untungnya gakpapa. Hahaha. Pas naik beberapa ratus meter, perutku rasanya aneh, antara mual sama mules jadi satu, tapi untung sakit perut menstrual syndrome tidak berefek. Syukur Alhamdulillah.
mas hop sik. Aku kepising e .” kataku dengan wajah tanpa dosa
“yowes lek ndodok mburi kono kuwi.
Sial ! saya kebelet eek :’D padahal lokasinya kala itu sungguh nggak ngenaki. Kanan banyak rumput tinggi tapi ternyata jurang. Kiri banyak pohon kecil-kecil dan semak tinggi, tapi tanahnya miring –lereng-. Ya sudah akhirnya milih yang kiri, tapi harus menyibakkan rerumputan tinggi sampe tanahnya keliatan. Setelah itu menikmati “ibadah” dengan syahdu :’D diiringi paduan suara kentutnya temen-temen, nyindir aku katanya... setelah membersihkan diri, bekasnya ditimbun lagi, tapi ini di luar jalur, jarang terjamah manusia –kalau monyet mungkin-.
Kami melanjutkan perjalanan, break di pos Watu Kumpul, dan mbak Novia muntah lagi, paksa makan lagi. Langit sudah semburat kemerahan, Sindoro Sumbing sudah menyembul di sebelah barat. Trek di depan sana keliatan batu gede-gede. Lanjut !
Oke, di sini treknya mulai kejam kayak ibu tiri terjal banget, untung ada tali buat manjat. Setelah manjat-manjat itu, langsung disuguhi pemangan menakjubkan. Garis horizon yang menyemburat merah terpampang nyata di ufuk timur.  Pos pemancar berada di kiri atas kami. Bau belerang mulai menyapa hidung.
selpok dulu :D

our team

peluk-peluk :*

sisi timur

Kami melanjutkan perjalanan, masih jauh sepertinya... bau belerang masih tercium. Sementara mbak Novia mulai ingin menyerah, katanya lemes, mual, pusing, dan nangis.
Mendadak kami jadi motivator :D mas Kus jadi tukang urut. Udah gitu nangisnya pake manggil ibuk segala.
“ibuuuk... pulanggggg”. Pokoknya mukanya jelek banget. Pengen tak geguyu tur kok yo mesakke :’D
Di tengah drama ibuk itu, ada sekelompok pendaki kurang lebih berusia SMP –katanya acara Panya sekolah- lewat, turun, dan MEMBAWA SETANGKAI EDELWEIS. Tau kan? Edelweis haram untuk dipetik. Eh ditegur malah bilang apa pokoknya bikin greget. 
Duta edelweis. Dedek gemes kepotret oleh Mas Burhan. Dedeknya ditegur malah cacicuceco -__-
Pas kami naik dikit lagi, kami juga papasan sama sekelompok pendaki yang kayaknya masih rombongannya tadi –mirip lah umur-umurannya- malah bawanya segegam tangkai edelweis. Ditegur lagi, malah lari. Duh dek. Udah gitu pake kostumnya nggak safety lagi, sepatu ala anak gahul, dan juga celana jeans. Nggak tau lah tadi mereka naiknya jam berapa juga bodo amat.
Semakin naik, semakin terjal, matahari mulai bersinar (tadi kehalang bukit), mbak Novia semakin ingin menyerah.....
Mendadaklah saya jadi motivator...
“mbak kamu kan perempuan, anak-anak kita berhak terlahir dari rahim ibu yang tangguh loh. Masak nanti kalau anakmu nangis panggil ibuk-ibuk kamu mau bales panggil ibukmu lagi.” :’D
“udahlaah kalian aja yang naik, aku di sini aja !” Pas bilang ini mukanya juga jelek banget.hahaha
“pokoknya kalau kamu gak naik kita gak naik, dan kita harus naik” mas Burhan menyahut.
“tak gendong wis” kata mas icik
“mbak engko sampe puncak sembuh wis.” kataku
Loh 1 orang mau diporteri ber 3 coba :’D. 
di sini bau belerang

mulai loyo...
"puncak bentar lagi" hanyalah harapan palsu...
melipir Jembatan setan

Puncak udah keliatan, tapi jauh di kaki, karena harus mlipir lagi, dan manjat lagi. Mbak Novia udah lemes, pengen teh panas mulu, padahal kami bawanya kopi panas. Tak cocol murbei ajadeh, kan asem tuh, jadi buat pereda mual,hahaha. Dia udah gak mau jalan, sama Mas Burhan langsung ditarik dan digendonglah di punggungnya. Sumpah ngakak sampe sakit perut :’D tapi kasian juga :’D
Baru beberapa langkah, mbak Novia udah meronta-ronta turun. Akhirnya jalan sendiri. Sampe di jembatan setan udah bisa ketawa-ketawa :'D
Puncak di depan mata. Saya jadi supporternya mbak Novia. Udah ngos-ngosan banget dia, jalannya pake trekking pole, gak bawa tas pula :D.
“Novia hebat”
“novia hebat”
Akhinrya sampailah kami di puncak Kentheng songo. :’D raut sumringah ada di muka mbak Novia, sekarang ketawa-ketawa saking senengnya :D, udah mau makan, makan biskuit oat sampe beberapa keping, dan mendadak doyan kopi :D –akibat liat mas Burhan nyeruput kopi dari tutup termosnya, padahal dia nggak suka bahkan gak doyan gak mau kopi-
“enak e.” Katanya polos.
halah enak po ngeleh ?? (doyan apa laper)
“dua-duanya.”





akibat kurang tidur

foto bareng mas Icik si pemburu ikan gabus


Beruntung, cuaca kala itu cerah banget, kami di atas awan. Kalau seandainya mbak Novia gagal sampai puncak, cuaca berkabut, pasti dia bakalan nyesel trus kapok. Alhamdulillah.
Kami kembali turun pukul 12 siang (kami sampai puncak jam set.11an, karena jalannya pelan). Di sepanjang jalur hingga pos 2 disambut banyak kera ekor panjang -aku sebenernya takut-. Sampai tenda di pos 2 jam 2 siang. Langsung makan tongseng sapi yang kami bawa dari rumah. Mas adit nyesel katanya nggak ikut ke puncak :’D, tapi kalo dia ikut ke puncak yang masak siapa ? :’D pahlawan berjasa pokoknya.
Kembali turun jam setengah 4. Mas Burhan ngacir duluan karena kalo turun gak lari engkelnya trouble, saya ikutan ngacir karena pengen cepet-cepet ke WC.
Sampai basecamp setengah 5, mandi terus ngeteh. Ada (maaf) orang gila di depan bc ngorek-orek sampah dan makan dari tempat sampah.
Setengah 6 disusul mas Kus, mas Icik, mb novia, dan mas Adit sampe bc. Mbak novia juga beli teh. Kami ngetehnya di teras, tehnya masih setengah gelas malah diminum orang gila tadi :’D
Ngeteh yang tidak diridhai...:'D
Saat itu pun saya mikir “kok bisa ya aku gak pms sakit perut dan sejenisnya?” kayaknya sakitnya udah kalah sama pikirannya, udah semangat sampe puncak pokoknya. Jika waktu itu kami menyerah, dan mbak Novia gagal menggapai puncak, mungkin dia akan kapok dan nyesel. Kapok karena teler, dan nyesel gak sampe puncak, padahal cuaca sedang cantik-cantiknya. Meskipun begitu, puncak yang sebenarnya adalah rumah kita :’D –iya, kita :’D-.

Ada videonya di https://www.youtube.com/watch?v=BT0BZ-13FTc selamat menonton :D







Selasa, 04 Agustus 2015

Pendakian Gunung Prau 31 Mei – 1 Juni 2015

1



Baru  sebulan lalu naik gunung, tapi rasanya udah sakaw. Mendaki emang jadi candu. Dari belanja logistic, packingnya aja udah bikin kangen, apalagi perjalanan malem-malem dalam cengekraman hutan rimba dengan hawa dingin dan angin semilir yang membelai mesra. Bukan puncak yang bikin kangen, tapi perjalanannya itu lho.hehehe
Tanggal itu teman-teman kelas mengajak ke Dieng, tepatnya mau naik Gunung Prau. Yang ngajakin aku sih temen-temen cowok  yang sudah cukup pengalaman naik gunung. Aku belum yakin, soalnya temen yang cewek belum pasti ada yang ikut atau enggak. Eh lain hari cewek-ceweknya nggak mau ikut. Aku udah kagol, pokoknya harus ada temen yang cewek.hehe
Dan akhirnya temen-temen cewek jadi ikut. Aku kembali riang.ahahaha
Mereka semua berkumpul dulu di rumahku, ya daripada aku harus ikut kumpul di kampus, kan jauh. Lagian rumahku juga searah kalo mau ke Wonosobo (rumahku di Godean, kampus di UNY).
Semua bersepuluh dengan cowok 4 orang menjadi sebuah kesebelasan kalau ditambah aku. Kata temen-temen rumahku cukup jauh, mereka membutuhkan waktu 45 menit dari kampus ke rumahku di pucuk barat Godean.
Sebelum berangkat kami ngisi perut dulu, ibu sudah nyiapin gulai enthog :D . eh sama ibu suruh bawa nasi sama sisa gulainya, nasinya pake wadah berupa besek dan gulainya diplastik. Beneran kayak kenduri :3
Berbekal ijin orang tua beberapa hari lalu, carrier dan alat lain yang Cuma minjem abang dan logistic secukupnya jam 13.30 kami bertolak dari Jogja, tepatnya dari rumahku menuju Wonosobo. Aku dibonceng Uun pake motorku eh pacarku yang sudah kuservis dang anti oli kemarin. Termasuk nekat ya, lha wong Uun nggak punya SIM. Tapi aku yakin-yakin aja.
Tenan dab, dibonceng Uun marai aku cedhak marang Gusti. Dari rumah, Magelang, Temanggung, Wonosobo Uun medeni tenan le numpak motor. Tapi lincahnyaaaa…. Aku makin cintaa :* #ehhh
Udah beberapa jam pas sampe Temanggung, kami mengandalkan GPS di HPnya Langgeng. Asem sekali lah, GPS e sondong tenan. Mosok dari tadi waktu tempuhnya satu jam mulu. Kami malah mblusuk lewat jalan ladang-ladang penduduk, hutan pinus, tanpa listrik, aspalnya rusak kayak sungai kering. Tapi Alhamdulillah ada bantuan cahaya bulan purnama, untung taringku enggak tumbuh dan si warewolf nggak keluar.  Ditambah lagi dengan pantat yang terasa panas karena duduk berjam-jam di motor, punggung juga dipeluk erat carrier yang membuatku seperti kura-kura.
lagi perjalanan sampai Temanggung, tanya jalan
carrier 80lt yang membuatku kayak kura-kura :D
Hawa dingin mulai meresap ke tubuh, teman-teman pilih berhenti dan pake jaket, aku milih tetep Cuma pake kaos (tentunya  pakaian lengkap lho ya), pura-puranya aklimatisasi gitu.hahaha
Di antara ladang-ladang penduduk dengan jalan yang penuh batuan kayak sungai kering itu, motor kami mulai manja. Yang dibelakang harus turun soalnya nggak berani numpang. Motor temanku malah ada yang nggak kuat, belum ganti oli katanya, sampe ada bau-bau gosong gitu (motor siapa hayo? Motornya ali) haha
Pas sudah keliata rumah penduduk, leganya bukan main :D kayak nemu setetes embun di padang pasir gitu. Ada masjid, kami berhenti sholat maghrib, ada yang benerin motornya soalnya kebetulan ada bengkel, lampu utama di motor ika hidup dan mati, sekarat.
Oh ternyata, kami njebol agrowisata Tambi. Pernah denger teh tambi pas aku nginep rumah Fita di Kejajar, Wonosobo. Leganyaa pas liat penunjuk jalan ada arah “DIENG”.
Nggak sampai satu jam kami udah sampai di pos pendakian gunung prau. Motor kami parkir di tempat parkir pinggir jalan raya, dekat masjid. Tarifnya 4000 per motor plus titipan helm 1000 per helm (lupa namanya pos parkir apaan). Terus kami harus jalan kaki sekitar 300 meter menuju basecamp. Hawa dingin benar-benar menusuk, pas wudhu sama sholat isya aja rahangnya gemelatukan.
Setelah sholat isya perut kami mulai minta makan. Ya sudah, nasi besekan dari ibu kita makan bareng-bareng di basecamp. Bisa dibayangkan? Nasi satu besek dimakan bareng-bareng bersebelas dengan dibagi-bagi pake piring, berasa menjadi satu keluarga besar yang lagi mbuka kenduri :D .
Jam 8 kami siap-siap untuk naik, jam setengah 9 kami mulai meninggalkan basecamp. Track pertama adalah berjalan kaki melewati rumah – rumah penduduk, enggak ada 500 meter. Terus ada tangga semen menuju ladang-ladang penduduk. Duh, sebenernya naik tangga kayak gini bener-bener malah bikin capek, lututnya kayak mau copot, tapi tenang ini enggak terlalu tinggi pemirsa.

http://infopendaki.com/wp-content/uploads/2015/01/PETA-JALUR-PENDAKIAN-GUNUNG-PRAU.png
Peta pendakian Gunung Prausource: InfoPendaki.com
Setelah naik beberapa anak tangga, sampailah kami di antara ladang penduduk. Kemudian melewati jalanan yang masih dari batu tertata, bukan semen ataupun aspal. Menanjak. Kami istirahat untuk ambil nafas. Beberapa teman kami ada yang bilang “aku lemes ”, maklum baru pertama kali dia naik gunung, mukanya juga terlihat pucat. Kuberi dia yang manis-manis berupa cokelat dan madu, padahal cukup ngelihat aku aja udah cukup manis B). selain itu ada yang ngambil air di dalem tasnya, mau dipindah ke botol yang lebih kecil biar bisa disaku. Aku Cuma bisa tepuk jidat, karena packingnya temenku bisa kubilang amburadul. Enggak dipertimbangkan mana barang prioritas yang sering dibutuhkan dan mana yang perlu dikeluarkan waktu ngecamp -_- .
Kami melanjutkan perjalanan, bulan bersinar terang cukup menghemat daya senter kami :D . naik lagi, memasuki jalan di antara ladang penduduk. Pos satu belum nyampe, tapi kayaknya deket. Tracknya jalan setapak berupa tanah berundak yang menanjak. Lampu-lampu di bawah berkelap-kelip, romantis, ditambah lagi cuaca yang cerah banget dihiasi bulan purnama, ndilalah.
Sudah sampai pos 1 yang terletak di antara ladang penduduk, penuh dengan pendaki yang dominan laki-laki.
Lanjut terus, memasuki hutan yang dominan dengan pohon pinus. Ketika kami istirahat untuk ambil nafas, bau pesing nyampe ke hidung. Sambil ngobrol ngalor ngidul apapun, terlebih Hendra yang tergolong cowok cerewet. Aku juga iya. Hahaha kata Nastiti kalau ada aku bakalan kemruwek (berisik), dari rumah, basecamp, naik pun aku enggak diem-diem. Katan Nasiti “Ningrum ki cilik-cilik tapi cerewet tenan ya.” Haiss.
Entah aku nggak hafal itu pos berapa pos berapa, tapi ada tiga pos. tapi beberapa hari sebelum keberangkatan aku sempat cari referensi, kita bakalan melewati taman bunga daisy. Tapi manaa? Sampai pos 3 naik aku belum nemu.
Dari pos 3 menuju sunrise camp, tracknya lumayan terjal, tangga tanah dengan batas bambu pada tiap anak tangganya. Lampu-lampu dieng plateau di bawah sana terlihat kerlap-kerlip, bulan purnama juga belum tertutup awan. Aku mulai diem, enggak secerewet tadi, “kalau ningrum mulai diem berarti dia mulai mengantuk” kataku.
Sampai di sunrise camp. Kami mencari tempat untuk mendirikan dua tenda. Jam menunjukkan sekitar pukul setengah dua belas malam. Angin dingin mulai berhembus, tangank mulai kaku. Kubuka carrier dan memakai jaket.
Ada mbak-mbak dari tenda sebelah menghampiri kami. Berkenalan. Dia dari Jakarta. Katanya dia enggak bisa tidur. Kebelet BAB juga. Sama Uun dikibulin, kalau kebelet BAB tahan aja pake batu atau kerikil disakuin. Eh dia percaya saja :D.
2 tenda kami sudah berdiri, satu tenda untuk 4 cowok dan 1 tenda untuk 7 cewek. Kami bongkar-bongkar bawaan masing-masing yang diperlukan. Kemudian masak beberapa mie rebus dan kami makan bertujuh.
Menunjukkan pukul setengah dua, aku masuk sleeping bag dan tidur meringkuk. Pukul empat  kami bangun, sekitar setengah lima kami memburu sunrise. Kami mencari titik yang lebih tinggi daripada sunrise camp. Tapi sayang, kabut tebal banget, jarak pandang hanya sekitar lima meter.
Kami memutuskan untuk kembali ke tenda dan masak air untuk bikin minum. Sambil menikmati susu cokelat panas, kemudian senyum kami terkembang tatkala kami melihat semburat kemerahan dari arah timur. Kami berlari keluar tenda dan memburu hawa hangat cahaya matahari. Tapi sayang, masih terhalang bukit teletubies .
sunrise yang terhalang bukit teletubbies

Kami juga mengambil spot di bukit bagian belakang tenda kami. Bunga kecil berwarna pink menghiasi tanah basah berembun, ternyata itu daisy. Sayangnya di sini banyak tisu basah bekas. Soalnya di sini banyak semak-semak, jadi maklum jadi toilet. Tapi kok sampah tisunya itu enggak dibawa turun sih? -_-
Kami mulai lapar. 

bunga-bunga
Kemudian kembali ke tenda dan masak. Masak nasi, sup, tempe dan telur goreng. Tapi berasnya susah matengnya, padahal yang bawah sudah gosong. Sudah dua kali ini aku masak nasi di gunung dan enggak mateng. Mungkin ada pembaca yang punya saran gimana cara masak nasi di gunung biar mateng?
Ya namanya juga laper, nasi enggak mateng pun habis dilahap.hahaha
calon istri idaman sedang memasak :D
Jam setengah 10 pagi kami memilih untuk packing turun. Setelah sunrise camp, aku baru menjumpai taman bunga daisy. Bunganya buanyaaaak banget. Bukit pun terlihat berselimut bunga-bunga. Telaga warna juga terlihat dari atas. Karena ini pagi menjelang siang, track baru terlihat terjal dan licin. Bagiku turun itu lebih mengerikan, takut terjungkal.





Ali menantang, kalau kita satu jam sampai base camp, nanti kita mampir ke Telaga Warna. Waktu itu baru pukul 10 pagi. Tepat satu jam kami sampai ke besecamp, dan berburu toilet, sudah rindu. Tapi cuaca malah mendung. Sambil istirahat kami menikmati hangatnya teh manis, tempe kemul, dan makan siang.
Tak lama kemudian hujan turun dengan deras. Bersyukur kami, sudah sampai bawah. Di base camp sempat tidur beberapa menit, tapi aku harus bangun. Kami harus pulang. Nggak jadi ke Telaga Warna.
Jam satu kami bertolak dari Dieng menuju Jogja. Tapi kali ini teman-teman langsung pulang ke kost masing-masing dan ngembalikan sewaan alat outdoor. Jadi aku pulang sendiri, enggak boncengan sama siapapun dari Magelang.
Adzan isya' aku sudah sampai rumah. Alhamdulillah, ini adalah puncak sejati, di mana keluargaku masih setia menungguku pulang.