Jalur wekas
merupakan jalur impian yang ingin saya daki, meskipun katanya berat banget.
Setelah 3x lewat jalur Selo sejak 2015 (dan hanya 1x sampe puncaknya. Hahaha),
akhirnya kesampaian juga lewat jalur Wekas yang jark tempuhnya 5km, lebih
pendek daripada jalur Selo, tetapi lebih terjal juga sih. Alasan kenapa ingin
mencicipi jalur Wekas adalah saya penasaran dengan yang dinamakan “Jembatan
Setan” dan “Geger Sapi”nya, dan kebetulan
diajak geng saya lewat Wekas sih, dan kebetulan jalur Wekas termasuk dekat dari
Jogja.
Tim kami ber-6
dengan cewek 2 orang, sebut saja Mas Buhan, Mas Sigit a.k.a Icik, Mas Kus, Mas
Adit, Mbak Novia, dan saya sendiri. Kali ini logistik kami adalah tongseng sapi
spesial Qurban, beras, mie
instan, roti serta camilan tak lupa kopinya. Berbekal persiapan fisik berupa
lari keliling lapangan paling enggak limabelas menit per latihan, tapi seminggu
hanya sempet 2x latihan saja, padahal targetnya 3 seminggu dengan 5 putaran
lapangan bola, tapi tak apalah sing
penting yakin. Selain biar kuat untuk diri saya sendiri, setidaknya nanti
saya enggak drop, karena ceweknya cuma berdua dan ini adalah pendakian mbak
Novia yang pertama.
Pukul 13.30 kami
mengawali perjalanan dari Godean, Yogyakarta menuju Basecamp Wekas Magelang.
Sekitar pukul 15.00 kami sampai di basecamp dan melakukan registrasi di loket, simaksinya sebesar Rp18.000,- per orang. Estimasi waktu kami adalah sebagai
berikut:
Pukul 15.30 :
naik dari basecamp
Pukul 20.00:
sampai di pos 2, ngecamp
Pukul 03.00 :
berangkat summit attack
Meskipun ini
weekend, tapi base camp Wekas tidak terlalu ramai. Karena jalur Wekas jarng
diminati seperti jalur Selo karena jalur Wekas itu kejam –tapi ngangenin, kayak kamu-.
Sekitar pukul
15.30 kami berangkat dari basecamp. Beberapa kali saya mendaki, ini adalah yang
paling ringan, karena air minumnya hanya 1,5 liter dalam water blader –karena ada mata air di pos 2-. Terlebih
mbak Novia, biarpun ini pendakian perdananya tapi barang pribadinya ia bawa
sendiiri dalam daypack 40l,
makanannya banyak membuat kami merasa mulyo.
Treknya berdebu
parah. Saya merasa oke-oke aja, nggak mountain
sickness atau apalah, hanya saja ini perut kok rasanya kayak kram. Mbak
Novia alhamdulillah juga oke.
Waktu sampai pos
bayangan 2 –Cuma bayangan, jangan ngarep
lebih-, dalam anganku (?) berarti pos 2 bentar lagi. Naik sebentar terus
agak landai. Udah habis isya sih waktu itu, kami break bentar. Saya di depan sendiri –padahal bukan leader, hahhaa, kebetulan aja-, sambil ngemilin
coki-coki dan ngobrol sama temen-temen saya mengendus aroma wangi nan lembut
mendamaikan (halah). Dengan rasa yang agak nganu saya mencoba menajamkan indra
pembau ala-ala anjing pelacak, dan benar ini bau wanggiiiiiiii, tapi saya diem.
Saya nggak liat yang ‘aneh-aneh’ tapi merinding, Cuma bisa komat kamit ayat
kursi yang kadang masih kebalik-balik sama Qulhu aja.
“rum jangan liat
belakang !” kata mas Kus padaku sambil mendekat
Belakang yang
dimaksudkan adalah belakangku alias depan teman-temen karena saya menghadap ke
temen-temen atau jalan berikutnya.
“engko nek
ndelok mburi ki ndak ketok dalane ketok adooooh”. Kataku
(translate: nanti kalo liat belakang jadi keliatan
jauh). Alibi saja, padalah sebenarnya takut,hahaha.
“lha iyo” kata
mas kus
(translate: lah iya)
Wanginya hilang,
capek juga hilang, sudah agak dingin karena keringat hampir hilang, kami lanjut
jalan. Dan horeee jalannya landai ditambah bonus dalan susu atau milky way
di atas kami, langit cerah.
Keceriaan kami
bertambah ketika liat tenda di depan sana. Sampailah kami di pos 2, dengan hati
riang kami mendirikan 3 buah tenda yang masing-masing kapasitas 2 orang. Yang
cewek merebus air, yang cowok bangun tenda.
Jam 22an kami
beranjak tidur, save energi karena besok summit
attack jam 3 pagi. Sebelumnya saya sudah membayangkan bahwa nanti kami bisa
tidur pulas dan cukup, paling enggak 3 jam lah minimal. Ternyata... rombongan di
sebelah sana berisik banget, mata sih merem, tapi pikirannya masih melek.
Jam 2 pagi
terbagun gegara kebelet pipis, dari awal mendirikan tenda sudah tak plot tempat
pipisnya, biar gak jauh dari tenda, kebetulan posisi tendanya deket semak :D.
Ternyata jam segitu yang laki juga udah pada bangun. Setelah pipis terakhir di
rumah sebelum berangkat,dini hari ini jadi beser. Hahahah. Dan ternyata.... aku
malah dapet jatah bulanan, pantesan tadi malem perutnya kram. Untung ubarampe cewek selalu ada dalam dompet
P3K ku, jadi ya tetap woles. Hanya kepikiran nanti kuat enggak sampe puncak?
Udah kebayang perut kram, terus pinggang kayak mau copot (biasanya sih gitu,
pernah pas dapet hari pertama naik ke Nglanggeran, beuuh pinggang kayak mau
copot). Tapi akhirnya sing penting yakin
:D.
Setelah sarapan
dengan nutrijel, minum cukup dan packing
barang-barang penting ke daypack, kami memulai perjalanan menuju puncak. Mas
adit ada trouble di kaki, jadi dia mau tinggal di tenda aja, masakin kami :D
Dingin masih
menggigit padahal kami sudah berjalan nanjak sudah beberapa ratus meter. Tidak
berapa lama, mbak Novia muntah-muntah. Mountain
sickness. Tapi katanya dia masih kuat. Jadi lanjut aja.
Setelah beberapa
ratus meter.... mbak Novia muntah lagi. Tak pijit-pijit leher belakangnya. Kami
paksa makan roti, biar perutnya gak keisi angin. Tapi katanya pait -Lah lebih pait kisahnya mas Sigit, yang
bela-belain hujan mancing gabus tapi boncosL-
Setelah mbak
Novia muntah, saya jadi ikutan mual karena liat dia muntah L, tapi untungnya
gakpapa. Hahaha. Pas naik beberapa ratus meter, perutku rasanya aneh, antara
mual sama mules jadi satu, tapi untung sakit perut menstrual syndrome tidak berefek. Syukur Alhamdulillah.
“mas hop sik.
Aku kepising e .” kataku dengan wajah tanpa dosa
“yowes lek
ndodok mburi kono kuwi.”
Sial ! saya
kebelet eek :’D padahal lokasinya kala itu sungguh nggak ngenaki. Kanan banyak rumput tinggi tapi ternyata jurang. Kiri
banyak pohon kecil-kecil dan semak tinggi, tapi tanahnya miring –lereng-. Ya
sudah akhirnya milih yang kiri, tapi harus menyibakkan rerumputan tinggi sampe
tanahnya keliatan. Setelah itu menikmati “ibadah” dengan syahdu :’D diiringi
paduan suara kentutnya temen-temen, nyindir aku katanya... setelah membersihkan
diri, bekasnya ditimbun lagi, tapi ini di luar jalur, jarang terjamah manusia
–kalau monyet mungkin-.
Kami melanjutkan
perjalanan, break di pos Watu Kumpul, dan mbak Novia muntah lagi, paksa makan
lagi. Langit sudah semburat kemerahan, Sindoro Sumbing sudah menyembul di
sebelah barat. Trek di depan sana keliatan batu gede-gede. Lanjut !
Oke, di sini
treknya mulai kejam kayak ibu tiri terjal banget, untung ada tali buat manjat. Setelah manjat-manjat itu, langsung
disuguhi pemangan menakjubkan. Garis horizon yang menyemburat merah terpampang nyata
di ufuk timur. Pos pemancar berada di
kiri atas kami. Bau belerang mulai menyapa hidung.
selpok dulu :D |
our team |
peluk-peluk :* |
sisi timur |
Kami melanjutkan
perjalanan, masih jauh sepertinya... bau belerang masih tercium. Sementara mbak
Novia mulai ingin menyerah, katanya lemes, mual, pusing, dan nangis.
Mendadak kami
jadi motivator :D mas Kus jadi tukang urut. Udah gitu nangisnya pake manggil
ibuk segala.
“ibuuuk...
pulanggggg”. Pokoknya mukanya jelek banget. Pengen
tak geguyu tur kok yo mesakke :’D
Di tengah drama
ibuk itu, ada sekelompok pendaki kurang lebih berusia SMP –katanya acara Panya
sekolah- lewat, turun, dan MEMBAWA SETANGKAI EDELWEIS. Tau kan? Edelweis haram
untuk dipetik. Eh ditegur malah bilang apa pokoknya bikin greget.
Duta edelweis. Dedek gemes kepotret oleh Mas Burhan. Dedeknya ditegur malah cacicuceco -__- |
Pas kami naik dikit
lagi, kami juga papasan sama sekelompok pendaki yang kayaknya masih
rombongannya tadi –mirip lah umur-umurannya- malah bawanya segegam tangkai
edelweis. Ditegur lagi, malah lari. Duh dek. Udah gitu pake kostumnya nggak
safety lagi,
sepatu ala anak gahul, dan juga celana jeans. Nggak tau lah tadi mereka naiknya
jam berapa juga bodo amat.
Semakin naik,
semakin terjal, matahari mulai bersinar (tadi kehalang bukit), mbak Novia
semakin ingin menyerah.....
Mendadaklah saya
jadi motivator...
“mbak kamu kan
perempuan, anak-anak kita berhak terlahir dari rahim ibu yang tangguh loh.
Masak nanti kalau anakmu nangis panggil ibuk-ibuk kamu mau bales panggil ibukmu
lagi.” :’D
“udahlaah kalian
aja yang naik, aku di sini aja !” Pas bilang ini mukanya juga jelek banget.hahaha
“pokoknya kalau
kamu gak naik kita gak naik, dan kita harus naik” mas Burhan menyahut.
“tak gendong
wis” kata mas icik
“mbak engko
sampe puncak sembuh wis.” kataku
Loh 1 orang mau
diporteri ber 3 coba :’D.
di sini bau belerang |
mulai loyo... |
"puncak bentar lagi" hanyalah harapan palsu... |
melipir Jembatan setan |
Puncak udah
keliatan, tapi jauh di kaki, karena harus mlipir lagi, dan manjat lagi. Mbak
Novia udah lemes, pengen teh panas mulu, padahal kami bawanya kopi panas. Tak
cocol murbei ajadeh, kan asem tuh, jadi buat pereda mual,hahaha. Dia udah gak
mau jalan, sama Mas Burhan langsung ditarik dan digendonglah di punggungnya.
Sumpah ngakak sampe sakit perut :’D tapi kasian juga :’D
Baru beberapa
langkah, mbak Novia udah meronta-ronta turun. Akhirnya jalan sendiri. Sampe di
jembatan setan udah bisa ketawa-ketawa :'D
Puncak di depan
mata. Saya jadi supporternya mbak Novia. Udah ngos-ngosan banget dia, jalannya
pake trekking pole, gak bawa tas pula :D.
“Novia hebat”
“novia hebat”
Akhinrya
sampailah kami di puncak Kentheng songo. :’D raut sumringah ada di muka mbak
Novia, sekarang ketawa-ketawa saking senengnya :D, udah mau makan, makan
biskuit oat sampe beberapa keping, dan mendadak doyan kopi :D –akibat liat mas Burhan nyeruput kopi dari
tutup termosnya, padahal dia nggak suka bahkan gak doyan gak mau kopi-
“enak e.”
Katanya polos.
halah enak po
ngeleh ?? (doyan apa laper)
“dua-duanya.”
akibat kurang tidur |
foto bareng mas Icik si pemburu ikan gabus |
Beruntung, cuaca
kala itu cerah banget, kami di atas awan. Kalau seandainya mbak Novia gagal
sampai puncak, cuaca berkabut, pasti dia bakalan nyesel trus kapok.
Alhamdulillah.
Kami kembali
turun pukul 12 siang (kami sampai puncak jam set.11an, karena jalannya pelan).
Di sepanjang jalur hingga pos 2 disambut banyak kera ekor panjang -aku
sebenernya takut-. Sampai tenda di pos 2 jam 2 siang. Langsung makan tongseng
sapi yang kami bawa dari rumah. Mas adit nyesel katanya nggak ikut ke puncak
:’D, tapi kalo dia ikut ke puncak yang masak siapa ? :’D pahlawan berjasa
pokoknya.
Kembali turun
jam setengah 4. Mas Burhan ngacir duluan karena kalo turun gak lari engkelnya
trouble, saya ikutan ngacir karena pengen cepet-cepet ke WC.
Sampai basecamp
setengah 5, mandi terus ngeteh. Ada (maaf) orang gila di depan bc ngorek-orek
sampah dan makan dari tempat sampah.
Setengah 6
disusul mas Kus, mas Icik, mb novia, dan mas Adit sampe bc. Mbak novia juga
beli teh. Kami ngetehnya di teras, tehnya masih setengah gelas malah diminum
orang gila tadi :’D
Ngeteh yang tidak
diridhai...:'D
Saat itu pun
saya mikir “kok bisa ya aku gak pms sakit perut dan sejenisnya?” kayaknya
sakitnya udah kalah sama pikirannya, udah semangat sampe puncak pokoknya. Jika
waktu itu kami menyerah, dan mbak Novia gagal menggapai puncak, mungkin dia
akan kapok dan nyesel. Kapok karena teler, dan nyesel gak sampe puncak, padahal
cuaca sedang cantik-cantiknya. Meskipun begitu, puncak yang sebenarnya adalah
rumah kita :’D –iya, kita :’D-.
Ada videonya di https://www.youtube.com/watch?v=BT0BZ-13FTc selamat menonton :D